Kamis, 20 Februari 2025 | 20:11 WIB

Ketua ABPPTSI Jabar Soroti Ketidakadilan Regulasi antara PTN dan PTS

foto

Ricky Agusiady, Ketua Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI) Jawa Barat

BANDUNG, indoartbews com – Ketua Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI) Jawa Barat, Ricky Agusiady, menyoroti ketimpangan perlakuan antara Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dalam berbagai aspek. Ia menilai regulasi dan pendanaan yang berlaku saat ini lebih menguntungkan PTN, sehingga PTS menghadapi tantangan besar dalam keberlangsungan operasional.

Dalam pertemuan dengan Forum Wartawan Pendidikan (FWP) Jabar di Sekretariat ABPPTSI Jabar, Gedung Pascasarjana Universitas Sangga Buana (USB) YPKP, Kota Bandung, Ricky menyoroti ketimpangan dalam penerimaan mahasiswa baru (PMB). Ia menyebut bahwa PTN dapat menerima mahasiswa dalam jumlah besar hingga puluhan ribu dan proses pendaftarannya bisa berlangsung hingga Januari untuk jenjang S2. Sebaliknya, PTS hanya diperbolehkan menerima mahasiswa baru hingga Agustus, dan jika melewati batas tersebut, dapat dikenai sanksi.

“Ini menjadi tantangan bagi PTS yang sangat bergantung pada jumlah mahasiswa untuk operasional. Sebanyak 90 persen PTS hidup dari uang kuliah tunggal (UKT), karena masih sedikit yang memiliki unit bisnis,” ujar Ricky.

Selain itu, Ricky juga mengkritisi kebijakan terkait dosen, di mana dosen yang dibina oleh yayasan PTS dapat dengan mudah berpindah ke PTN tanpa mekanisme “lolos butuh.” Hal ini dinilai merugikan PTS yang telah mengeluarkan biaya besar untuk investasi terhadap tenaga pengajar. Ia menekankan pentingnya komunikasi yang baik antara PTS dan PTN dalam menangani permasalahan ini.

Persoalan lain yang disoroti adalah aturan minimal luas lahan perguruan tinggi, yakni 5.000 m² untuk sekolah tinggi, politeknik, atau akademi, 8.000 m² untuk institut, dan 10.000 m² untuk universitas. Menurut Ricky, aturan ini memberatkan, terutama bagi kampus yang sudah lama berdiri di pusat kota dan kesulitan mencari lahan tambahan.

Ricky juga meminta agar sertifikasi dosen tidak dipersulit. Ia menegaskan bahwa setelah dua tahun bekerja, dosen tetap seharusnya bisa langsung mengajukan jabatan fungsional (Jafung) sebagai asisten ahli, lalu naik bertahap menjadi lektor dan lektor kepala tanpa tes tambahan dan biaya tambahan.

Terkait tata kelola keuangan, Ricky menyoroti pentingnya transparansi dalam pengelolaan dana, baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ia juga menegaskan bahwa dana Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah harus digunakan sesuai ketentuan dan tidak boleh disalahgunakan oleh perguruan tinggi.

“Dana KIP untuk mahasiswa tidak boleh diganggu gugat. Penggunaannya harus sesuai aturan yang berlaku,” tegasnya.

Di sisi lain, Ricky menekankan bahwa pembinaan dan pengawasan dari pemerintah terhadap PTS seharusnya lebih diperkuat, bukan sekadar pemberian sanksi. Ia juga mengingatkan bahwa PTS wajib mengikuti pangkalan data perguruan tinggi (PDDikti) untuk memastikan tata kelola yang baik.

Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya pembagian tugas yang jelas antara yayasan dan rektorat dalam mengelola perguruan tinggi. Yayasan, kata Ricky, bertanggung jawab terhadap “3M,” yakni man (sumber daya manusia), money (keuangan), dan material (sarana dan prasarana), sementara rektor harus memiliki visi yang kuat, jiwa kepemimpinan, serta kemampuan manajerial yang baik. “Kami berharap pemerintah lebih memperhatikan PTS dan membuka ruang dialog untuk mencari solusi atas ketimpangan ini,” pungkasnya.**