
Ketua Tim Pengkaji RUU HAP, Dr. R.B. Budi Prastowo ,S.H.,M.Hum didampingi ketua AAI DPC Bandung Aldis Shandika,S.H.Mh foto bersama usai menggelar jumpa Pers di Gedung FH.UNPAR Jl.Ciumbuleuit Bandung, Senin (24/3/2025).
BANDUNG, indoartnews.com – Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU HAP) yang tengah digodok pemerintah kembali menuai sorotan. Di tengah situasi hukum nasional yang sarat kritik terhadap dominasi militer dalam urusan sipil, DPC Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Bandung bersama Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH Unpar) mendorong pembaruan sistem peradilan pidana yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).
Langkah tersebut diwujudkan melalui penyusunan kajian akademik terhadap RUU HAP, yang dibahas dalam forum diskusi terpumpun (Focus Group Discussion) pada Senin, 10 Maret 2025, di FH Unpar. Kajian ini dipimpin oleh Ketua Tim Pengkaji RUU HAP, Dr. R. B. Budi Prastowo, S.H., M.Hum., dan Ketua DPC AAI Bandung, Aldis Sandhika, S.H., M.H.
"Terlepas dari kesan eksklusif dalam pembahasan RUU ini, substansi kajian tetap harus disuarakan oleh masyarakat," ujar Budi Prastowo.
Mereka menyoroti keterbatasan akses terhadap naskah RUU HAP yang hanya bisa diperoleh melalui jalur resmi ke Sekretariat DPR, bahkan kerap memerlukan pendekatan informal. Oleh karena itu, tim memfokuskan kajian pada tiga isu fundamental yang dinilai paling mendesak.
Pertama, soal keadilan restoratif, yang dalam RUU HAP dianggap terlalu sempit karena hanya diartikan sebagai mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. Menurut tim kajian, keadilan restoratif seharusnya menjadi pendekatan filosofis yang menekankan pada pemulihan dan pelibatan masyarakat.
Kedua, akses tersangka atau terdakwa serta penasihat hukumnya dalam proses peradilan. Draf RUU HAP dinilai masih memuat ketimpangan antara hak penyidik dan terdakwa. Salah satu pasal bahkan membatasi advokat untuk menyampaikan pendapat di luar pengadilan, yang dianggap menggerus hak pembelaan.
Ketiga, perdebatan seputar kewenangan penyidikan antara kepolisian dan kejaksaan. Tim menilai perlu adanya keseimbangan kewenangan, terutama dalam penanganan tindak pidana khusus seperti korupsi, agar tidak terjadi tarik ulur antara doktrin diferensiasi fungsional dan dominus litis.
“Standar hukum dalam RUU HAP tidak boleh lebih rendah dari KUHAP yang saat ini berlaku. Reformasi peradilan pidana harus tetap berpegang pada prinsip keadilan, efektivitas, dan pelindungan HAM,” tegas Aldis Sandhika.
Kajian ini diharapkan menjadi kontribusi nyata bagi penyusunan RUU HAP agar lebih inklusif dan berpihak pada nilai-nilai keadilan substantif.**