Ketua RW Pertanyakan Alokasi Iuran Sampah di Tengah Masalah Overload TPA Sarimukti

Elly Susanto | 05 November 2024 18:59:26

Gambar : ilustrasi ()

BANDUNG, indoartnews.com ~ Overload Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti terus menjadi tantangan besar bagi Pemerintah Kota Bandung. Dampaknya, masalah pengelolaan sampah pun kian pelik, menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat dan aparat kewilayahan. Meski berbagai upaya telah dilakukan Pemkot Bandung dengan melibatkan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) hingga tingkat RW, masalah sampah tampak belum menemui solusi tuntas.

Di sisi lain, para Ketua Rukun Warga (RW) mulai mempertanyakan transparansi alokasi dana iuran sampah yang mereka kumpulkan dari warga setiap bulan. Uang tersebut umumnya digunakan untuk operasional petugas kebersihan di wilayah mereka, namun tetap ada kendala yang mereka hadapi, terutama terkait keterlambatan pengangkutan sampah.

“Kami sering mendapat protes dari warga saat sampah terlambat diangkut. Masalahnya, petugas kami sering kali tidak diperbolehkan membuang sampah di TPS karena keterlambatan armada dari dinas. Kalaupun armada ada, kapasitasnya sering sudah penuh,” ujar seorang Ketua RW yang enggan disebutkan namanya, Selasa (5/11/2024).

Ketua RW ini mengungkapkan bahwa setiap bulan mereka menyetorkan iuran sekitar Rp600.000 kepada Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bandung. Ketika terjadi keterlambatan, mereka bahkan terpaksa mengeluarkan biaya tambahan hingga Rp50.000 kepada sopir dump truck agar sampah dapat diangkut.

“Warga kan tidak mau tahu, yang penting sampah mereka diangkut. Jadi ketika terjadi keterlambatan, kami yang kena protes. Padahal, setiap bulan kami rutin bayar Rp600.000. Bahkan, di beberapa RW dengan tingkat ekonomi yang lebih tinggi, iuran bisa mencapai Rp1 juta. Kalau dikalikan dengan total 1.597 RW di Bandung, uang yang terkumpul cukup besar. Kemana larinya dana tersebut, ditambah lagi anggaran dari APBD?” tanyanya.

Meski begitu, DLHK Kota Bandung belakangan ini mulai memberikan bantuan berupa alat pencacah sampah yang ditempatkan di beberapa RW yang memiliki lahan cukup. Namun, kapasitas alat tersebut dinilai sangat terbatas, bahkan sering mengalami kendala teknis saat digunakan.

“Memang ada alat pencacah, tetapi kapasitasnya terbatas. Kami berharap DLHK bisa menyediakan mesin incinerator dengan kapasitas memadai, bukan yang asal-asalan,” ungkapnya.

Dengan kondisi yang masih belum optimal, Ketua RW ini berharap Pemkot Bandung dan DLHK dapat segera menemukan solusi yang lebih efektif agar pengelolaan sampah tidak menjadi beban masyarakat dan aparat kewilayahan.**